Pagi ini sepulang mengantar anak2 ke sekolah, aku kedatangan
seorang ibu yang sebelum ramadhan kemarin adalah sebagai asisten di rumahku
untuk urusan cuci nyetrika. Lebih sebulan aku tunggu, dia tidak juga hadir. Dan
kehadirannya hari ini sungguh mengejutkan. Bukan karena ia minta dipekerjakan
kembali, tapi karena berita yang ia bawa.
Ia, si ibu, adalah seorang istri yang pernah ditinggalkan
oleh suaminya. Dan ketika ditinggalkan, ialah yang akhirnya mengambil peran
pencari nafkah Bagi ketiga anaknya. Suaminya ke mana? Yup! Sang suami lebih
memilih wanita lain dan menikahinya ketimbang setia kepada istri yang telah
memberikan anak2 kepadanya.
Setelah lebih dari 3 tahun ditinggalkan, si suami kembali ke
rumah dalam keadaan lusuh. Padahal dulunya ia adalah seorang yang memiliki
penghasilan dan usaha yang lumayan. Entah bagaimana ceritanya, setelah menikah
dengan perempuan lain, semuanya berbalik. Dan sekitar 3 bulan yang lalu, sang
suami kembali kepada istri lamanya. Kondisinya tak lagi sehat. Alhasil, si
istri yang kerja di rumahku beberapa kali harus Izin tak masuk kerja karena
mengurus suaminya.
Seringkali si ibu mengeluh dengan kehadiran suaminya ini. Ia
bilang, "Saya mau ngga mau tetap nerima suami saya balik bu, Sebab mau
diusir ya ngga tega juga.. cuma ya gitu bu, kalo balik2nya sehat mah ga pa2,
ini giliran balik ke saya udah sakit-sakitan, ga punya uang, badan udah kurus
kering. Jadinya kan ngerepotin saya, mana cuma saya aja yang kerja... kalo
sakit begini kan nambahin beban saya aja, nambahin biaya."
"Hmmm, giliran udah jadi ampas, dikembalikan ketempat
asalnya," begitu Pikirku saat itu.
Keluhan si ibu bukan satu atau dua kali, mungkin karena
bingung apa yang harus dia lakukan. Sementara pihak keluarga sama sekali sudah
tidak mau menerima kehadiran si suami, sehingga walau sakitnya makin menjadi
pun, keluarga dari si ibu sama sekali tidak peduli.
Dan, pagi ini, yang mengejutkanku adalah berita duka. Ketika
ku lihat sepedanya terparkir depan rumahku, dan ketika si ibu muncul dari
pelataran rumahku, segera aku bertanya akan ketidak hadirannya sebulan ini.
"Bu, kemana aja?? Saya tungguin loh padahal.. mana nih
ibu ga dateng2, padahal kan gajinya ibu masih ada sama saya..." kebetulan
aku ngga pernah tau di mana rumah si ibu. Jadi uang gajinya yang sebulan
kemarin belum ku setorkan ke beliau.
Ia bilang, "Iya bu, maaf, abis yang kemaren masuk
terakhir itu, suami saya sakit dan ga sembuh2. Makin parah bu, akhirnya kemaren
meninggal.."
Huuuufft! Akhirnya... Innalillahi wa inna ilaihi roji'uun..
tapi aku sendiri bingung, apakah harus berduka untuknya, atau sebaliknya,
karena dengan kepergian suaminya, kelihatannya ia sama sekali tidak sedih,
justru terasa jika bebannya berkurang.
"Iya bu, saya kemaren bener2 repot ngurusin laki saya,
Abisnya udah ga bisa bangun, pipis di situ, pup juga disitu.. mau ga mau saya
yang urusin, Abisnya sodara2 saya ga ada yang mau bantuin lagi. Tapi saya
jadinya ga bisa kerja, makanya saya mau dateng ke ibu lagi sekarang, mau kerja
lagi. Suami saya udah ga ada, jadi ga repot lagi saya," ucapnya dengan
wajah polos dan sama sekali tidak ada nada kesedihan dari suara dan kalimatnya.
"Loh, kan ada anak2 bu.." tanyaku.
"Yah, anak2 mana mau ngurusinnya bu, udah pada kesel
sama bapaknya.."
Ya, kesal karena mereka telah ditelantarkan selama beberapa
tahun tanpa nafkah sama sekali.
Aku cuma bisa terdiam sambil tercenung.
Miris... ketika seseorang berada di akhir ajalnya,
keluarganya justru sama sekali tak mau berada di sisinya...
Teringat sebuah kalimat "Ketika kehadiranmu tak lagi
diinginkan, dan ketika ketidakhadiranmu tak lagi dirindukan, maka sesungguhnya
kamu telah kehilangan harta yang tak ternilai yang bernama KELUARGA".
Astaghfirullah... semoga tulisan ini bisa menjadi i'tibar
bagi para suami atau istri yang tega meninggalkan keluarganya hanya karena
wanita atau pria yang lebih menarik.
Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia
lainnya.
Sumber : Kisah dari coach Nahdah HN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar